Oleh : Firman Subagyo )*
Pemerintah terus menunjukkan komitmen dalam menjaga stabilitas ketenagakerjaan di tengah berbagai tantangan ekonomi global. Berbagai kebijakan telah diterapkan untuk melindungi pekerja dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) serta memastikan kesejahteraan tenaga kerja tetap terjaga. Langkah strategis dan sinergis dari pemerintah menjadi kunci utama dalam menghadapi dinamika ketenagakerjaan yang semakin kompleks.
M. Rizal Taufiqurrahman, Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF, menekankan perlunya langkah strategis untuk mencegah eskalasi PHK. Ia menyarankan pemberian insentif kepada industri terdampak, mendorong diversifikasi produk untuk pasar domestik dan ekspor, serta memperkuat kapasitas tenaga kerja melalui pelatihan profesional.
Pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk mencegah eskalasi PHK, seperti memberikan insentif kepada industri terdampak, mendorong diversifikasi produk untuk pasar domestik dan ekspor, serta memperkuat kapasitas tenaga kerja melalui pelatihan profesional, ujar M. Rizal Taufiqurrahman saat dihubungi di Jakarta.
Ia mencatat beberapa faktor utama penyebab PHK di industri manufaktur, antara lain kebangkrutan perusahaan, disrupsi bisnis, biaya produksi yang tidak efisien, dan penurunan permintaan pasar. Contoh nyata adalah PHK massal yang melibatkan lebih dari 10.000 pekerja serta penutupan pabrik oleh Yamaha Music Products Asia yang merelokasi produksi ke negara lain. Dengan langkah-langkah strategis dan kolaboratif, diharapkan tantangan PHK di sektor manufaktur dapat diatasi, sehingga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan tenaga kerja tetap terjaga.
Sementara itu, Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas, Maliki, menyampaikan bahwa pemerintah terus berupaya memberikan kepastian perlindungan lebih luas bagi pekerja yang mengalami PHK.
Untuk merespons tantangan perekonomian global saat ini, pemerintah terus mengupayakan untuk memberikan kepastian perlindungan yang lebih luas bagi pekerja/buruh yang terkena PHK, katanya.
Sejak 2022, pemerintah telah menjalankan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang memberikan manfaat berupa uang tunai, akses pelatihan kerja, dan layanan informasi pasar kerja bagi pekerja terdampak PHK. Program ini terus diperbarui dan ditingkatkan manfaatnya, termasuk melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 tentang perubahan atas PP 37/2021.
Program JKP didanai sepenuhnya oleh pemerintah tanpa membebani pekerja, dengan kontribusi sebesar 0,22 persen dari upah sebulan (batas atas upah Rp5 juta) dan rekomposisi dari Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,14 persen, jelas Maliki.
Melalui program ini, pekerja terdampak PHK berhak mendapatkan uang tunai sebesar 60 persen dari upah selama enam bulan, serta dukungan pelatihan vokasi untuk meningkatkan keterampilan mereka agar lebih siap bersaing di pasar kerja.
Belakangan ini, maraknya PHK disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perlambatan ekonomi yang menekan permintaan produk barang dan jasa, serta persaingan global di sektor tekstil dan produk tekstil. Banyak perusahaan tekstil menghadapi tantangan berat akibat mesin produksi yang sudah berusia lebih dari 20 tahun, membuat harga produk mereka kalah bersaing dibandingkan dengan produk dari China. Faktor eksternal seperti impor ilegal, berkembangnya thrifting, serta kemudahan membeli produk luar negeri secara daring juga berkontribusi pada tekanan industri lokal.
Menurut Maliki, alasan utama PHK pada awal 2025 didominasi oleh berhentinya operasional perusahaan karena pailit, dengan total 13.204 kasus. Selain itu, kondisi keuangan yang menurun akibat beban upah tinggi menyebabkan 4.461 kasus PHK. Relokasi pabrik ke negara lain yang lebih kompetitif juga menjadi faktor utama lainnya.
Angka PHK cukup mengkhawatirkan. Investasi padat karya di sektor tekstil dan produk tekstil diperlukan untuk meredam dampak PHK, terutama di wilayah dengan kasus PHK tinggi, tambahnya.
Untuk mengatasi tantangan ini, dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah telah menetapkan sejumlah prioritas nasional guna menciptakan iklim ketenagakerjaan yang kondusif. Beberapa langkah strategis yang telah dilakukan mencakup penguatan keahlian mediasi hubungan industrial, pembinaan tenaga kerja agar terampil dalam bernegosiasi dengan perusahaan, serta peningkatan kapasitas mediator hubungan industrial. Selain itu, pemerintah juga terus mengintensifkan sosialisasi program JKP agar semakin banyak pekerja yang memahami dan dapat mengakses manfaatnya.
Selain memastikan perlindungan bagi pekerja terdampak PHK, pemerintah juga fokus pada upaya peningkatan keterampilan tenaga kerja. Melalui sistem informasi pasar kerja (SIAPKerja) Kementerian Ketenagakerjaan, pekerja yang kehilangan pekerjaan dapat mengikuti pelatihan keterampilan, mendapatkan informasi lowongan kerja, serta berkonsultasi terkait pengembangan karier mereka. Program ini didukung oleh Dinas Tenaga Kerja di tingkat provinsi dan daerah guna memastikan setiap pekerja mendapatkan akses yang mudah ke layanan ketenagakerjaan.
Selain itu, kebijakan penyederhanaan sistem perizinan usaha juga menjadi salah satu langkah strategis untuk menarik lebih banyak investasi baru ke dalam negeri. Dengan adanya investasi yang masuk, diharapkan dapat tercipta lebih banyak lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja terdampak PHK, sehingga kesejahteraan tenaga kerja tetap terjamin.
Dengan berbagai kebijakan dan program yang telah dirancang, pemerintah menunjukkan kesungguhan dalam menjaga stabilitas ketenagakerjaan di Indonesia. Melalui sinergi antara kebijakan perlindungan sosial, pelatihan vokasi, serta insentif bagi industri, diharapkan dampak negatif PHK dapat ditekan seminimal mungkin, sekaligus menciptakan peluang kerja baru yang lebih berkelanjutan.
Oleh : Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Publik