Oleh: Agus Supriadi*

7/30/20243 min read

Indonesia adalah negara dengan keragaman yang luar biasa. Keberagaman ini mencakup suku, agama, budaya, dan bahasa yang menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang unik dan kaya akan nilai-nilai kebhinekaan. Namun, keberagaman ini juga menghadirkan tantangan tersendiri, terutama terkait dengan isu intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme (IRET). Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak guna menyebarkan pesan toleransi dan anti-radikalisme, khususnya di lingkungan pendidikan.

Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan telah mengambil langkah penting dengan menggandeng Densus 88 Anti Teror Polri dalam upaya strategi deteksi dini pencegahan IRET di lingkungan madrasah. Kepala Kankemenag Kota Jakarta Selatan, M. Yunus Hasyim, mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sekolah merupakan salah satu tempat yang rentan terhadap penyebaran ekstremisme. Menurut Yunus, penyebaran paham IRET mengikuti perkembangan zaman sehingga guru harus mampu menjadi agen pencerah bagi siswa dan memberikan edukasi tentang bahaya radikalisme.

Pemahaman terkait moderasi beragama harus selalu ditanamkan dalam pemahaman peserta didik. Mengingat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan heterogen, terdapat banyak keragaman yang ada di Indonesia, baik keragaman bahasa, suku-budaya, maupun agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, penting untuk memiliki prinsip atau konsep yang mampu mengurai ketegangan antar umat beragama. Konsep moderasi beragama atau ‘jalan tengah’ tanpa memarjinalkan peran agama maupun peran negara sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan. Negara ini dipersatukan atas dasar Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Moderasi beragama yang menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan agar terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Pemahaman moderasi beragama juga bisa mempererat kerukunan umat beragama, khususnya di madrasah. Diharapkan, peserta didik ke depannya dapat menjadi generasi yang moderat, toleran, dan mampu memahami serta mengamalkan ajaran agama secara seimbang.

Selain itu, Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta mendukung dan mengapresiasi terlaksananya MOU antara Kankemenag Kota Jakarta Selatan dengan Densus 88 Anti Teror Polri. Langkah ini dianggap penting dalam mendukung upaya strategi deteksi dini pencegahan IRET di lingkungan madrasah.

Di lain tempat, Da’i Kamtibmas Satgas Madago Raya melalui Kasat Binmas Akp Ngatimin dan Bripda Yudhi Pratama Djunu, bersilaturahmi dengan santri Pondok Pesantren Al Fatah di Sulawesi Tengah. Dalam kegiatan ini, mereka membuka ruang komunikasi dengan pimpinan pondok, Ustad Banu Adam, dan membahas berbagai hal terkait upaya menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di wilayah tersebut.

Mereka juga menyampaikan pentingnya menjaga toleransi dan kerukunan antar umat beragama di lingkungan sekitar serta meningkatkan kewaspadaan terhadap aksi pencurian dan penyebaran berita bohong (hoax) yang dapat meresahkan masyarakat.

Akp Ngatimin mengajak para santri untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan mereka dari paham radikalisme dan intoleransi. Para santri diharapkan dapat melaporkan kepada pihak berwenang terkait kegiatan atau kajian yang mencurigakan. Kegiatan ini disambut baik oleh pimpinan Pondok Pesantren Al Fatah, Ustad Banu Adam, yang menyatakan kesiapannya untuk membantu dalam melaporkan kajian atau perkumpulan yang berhubungan dengan paham radikalisme dan intoleransi.

Upaya lainnya dilakukan oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gunungkidul yang melalui Kepala Seksi Pendidikan Agama Islam (PAIS), H. Faqih Shomadi. Faqih menyampaikan materi pencegahan radikalisme dan intoleransi kepada para peserta didik baru. Ia menjelaskan bahwa manfaat toleransi dalam kehidupan antara lain adalah menjaga keharmonisan antarsesama, meminimalisir terjadinya perpecahan, mempersatukan perbedaan yang ada, meningkatkan perdamaian, rasa persaudaraan, nasionalisme, dan mempermudah mencapai mufakat dalam bermusyawarah.

Faqih juga menerangkan bahwa intoleransi adalah cikal bakal dari tindakan terorisme dan radikalisme. Pencegahan radikalisme dapat dilakukan dengan cara bijak dalam bersosial media serta penguatan wawasan kebangsaan yang mencakup empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Indikator moderasi beragama yang harus ditanamkan adalah komitmen kebangsaan, toleransi, penerimaan terhadap tradisi, dan anti kekerasan.

Kolaborasi dari berbagai pihak seperti yang dilakukan merupakan contoh nyata dari upaya bersama dalam menyebarkan pesan toleransi dan anti-radikalisme. Kolaborasi ini penting untuk menciptakan lingkungan yang aman, damai, dan harmonis, terutama di lingkungan pendidikan.

Melalui upaya-upaya kolaboratif seperti ini, diharapkan generasi muda Indonesia akan tumbuh menjadi individu yang memiliki pemahaman agama yang moderat, mampu menghargai perbedaan, dan berperan aktif dalam menjaga keutuhan dan kedamaian bangsa. Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memerlukan komitmen dari semua pihak untuk terus menjaga dan merawat keragaman yang ada demi masa depan yang lebih baik.

Dengan demikian, kolaborasi dalam menyebarkan pesan toleransi dan anti-radikalisme tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga keamanan, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Setiap individu memiliki peran penting dalam menjaga kerukunan dan perdamaian, dimulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga dan sekolah. Hanya dengan demikian, kita dapat mewujudkan Indonesia yang harmonis, damai, dan bebas dari ancaman radikalisme dan intoleransi.

*Penulis merupakan Mahasiswa asal Yogyakarta