Oleh : Anindira Putri Maheswani

Keberadaan UU Cipta Kerja memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada para buruh. Untuk itu, masyarakat menolak keras demonstrasi atau unjuk rasa, khususnya terkait UU Cipta Kerja karena rawan ditunggangi kelompok kepentingan untuk membuat aksi anarkis.

Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang digelar Partai Buruh bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pada 8 Juli 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) dan Istana Negara, Jakarta tidak mewakili masyarakat. Karena sejatinya tidak ada substansi penting dari pelaksanaan aksi demonstrasi atau unjuk rasa tersebut. Pasalnya, justru apa yang mereka permasalahkan sebenarnya banyak mendatangkan kebermanfaatan bagi masyarakat.

Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengesahkan UU Cipta Kerja demi bisa memberikan perlindungan dan pemberdayaan sepenuhnya kepada para buruh, yang mana menandakan adanya keberpihakan dan komitmen kuat untuk menyejahterakan mereka.

Sehingga, apabila keberadaan seperangkat aturan yang sebenarnya justru sangat bermanfaat namun malah disambut aksi demonstrasi atau unjuk rasa, yang mana dalam aksi tersebut sangat berpotensi untuk mengganggu keamanan nasional, maka sudah jelas bahwa demo itu rawan sekali ditunggangi dan disusupi oleh pihak tidak bertanggung jawab yang hanya ingin merusak stabilitas keamanan negara.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno menyebutkan bahwa dalam setiap adanya aksi unjuk rasa atau demonstrasi jelas sangat rawan adanya pihak yang menungganginya. Tidak terkecuali dalam adanya demo untuk menolak UU Cipta Kerja yang menurut pengamat tersebut pasti juga sangat rawan ditunggangi pihak tertentu.

Beberapa pihak yang bisa menunggangi adanya aksi demonstrasi atau unjuk rasa yakni bisa saja datang dari berbagai elemen seperti teman, aktivis mahasiswa atau bahkan segelintir elite yang mungkin memiliki kepentingan dengan seperangkat aturan tersebut.

Demonstrasi sendiri merupakan sebuah aktivitas politik yang membutuhkan mobilisasi dukungan seperti fasilitas transportasi atau logistik. Namun, hal tersebut menjadi salah apabila justru massa yang dimobilisasi adalah mereka yang sama sekali tidak paham akan perihal atau seluk-beluk mengenai undang-undang yang mereka tolak. Bahkan, kerap kali justru mereka dikerahkan hanya untuk berbuat kerusuhan saja.

Senada, Pengamat politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing juga menilai bahwa demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja sangat kentara akan aksi menunggangi satu sama lain. Baginya, hal tersebut tidak semuanya murni aksi unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi atau tuntutan belaka.

Dalam sebuah fenomena politik, termasuk adanya demonstrasi atau unjuk rasa merupakan sebuah rangkaian peristiwa yang tidak hanya muncul secara tiba-tiba saja. Karena memang sejatinya tidak ada satupun perilaku manusia yang tanpa direncanakan sebelumnya.

Pemerintah memang telah menerbitkan UU Cipta Kerja, yang mana pada konteks ketenagakerjaan, keberadaan seperangkat aturan itu merupakan sebuah bukti komitmen kuat dari pemerintah dalam memberikan perlindungan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha untuk bisa menjawab tantangan perkembangan dinamika ketenagakerjaan.

Menurut Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah bahwa substansi ketenagakerjaan yang tertuang di dalam UU Cipta Kerja adalah ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan yang adaptif bagi para pekerja atau buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis.

Selain itu, berbagai poin perlindungan yang telah tertuang dalam UU Cipta Kerja juga telah sangat sesuai dengan hasil serap aspirasi bersama dengan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia beserta adanya kajian oleh berbagai lembaga yang independen.

Pertimbangan utama pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja yakni untuk penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, perlindungan kepada para pekerja atau buruh dan juga keberlangsungan usaha di Indonesia.

Seluruh aturan dalam UU Cipta Kerja sendiri sudah sangat memihak kepada para buruh, bahkan memang secara khusus pemerintah rancang demi memenuhi seluruh hak mereka. Terdapat tiga aspek utama dalam perancangannya, yakni memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang mengalami kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Dengan adanya UU Cipta Kerja, pemerintah berupaya untuk terus meningkatkan investasi dari dalam maupun luar negeri agar bisa tercipta lebih banyak lapangan pekerjaan di Indonesia.

Aspek kedua yakni pemerintah melalui UU Cipta Kerja berupaya untuk memperbaiki perlindungan para pekerja dengan adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), karena pada aturan sebelumnya belum terdapat secara jelas mengenai bagaimana hak-hak para pekerja dengan status tersebut.

Perlindungan terus terjadi, termasuk adanya peningkatan jaminan mulai dari pelaksanaan waktu kerja dan waktu istirahat, seluruhnya kini memiliki aturan dengan lebih jelas dan tegas serta sangat memihak para buruh. Selanjutnya, pemerintah juga memberikan perlindungan kepada para pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melalui skema jaminan sosial.

Dengan banyak sekali kebermanfaatan akan kehadiran UU Cipta Kerja yang jelas sangat memihak kepada para buruh atau pekerja karena di dalamnya menjamin adanya perlindungan dan juga pemberdayaan, maka sebenarnya sangat tidak relevan apabila terjadi demonstrasi atau unjuk rasa penolakan aturan tersebut. Selain itu, justru dengan adanya demo akan semakin berpotensi menyebabkan gangguan keamanan secara nasional. Sudah sepatutnya buruh untuk turut serta menjaga stabilitas politik dan keamanan demi keberlangsungan iklim investasi yang kondusif.

)* Penulis adalah kontributor Persada Institute