Oleh : Ensy Fonataba*

Kelompok Separatis dan Teroris (KST) melakukan sejumlah provokasi yang kemudian memicu lahirnya anarkisme dalam salah satu aksi demonstrasi atau unjuk rasa di Papua. Lantaran adanya provokasi tersebut, juga membuat situasi di lokasi kejadian menjadi sangat tidak terkendali sehingga kericuhan terjadi bahkan sangat merugikan bagi warga sipil.

Sejauh ini memang gerombolan separatis asal Bumi Cenderawasih tersebut terus saja tidak henti-hentinya menyebabkan keonaran terjadi melalui aksi mereka. Bukan hanya karena aksi aktif yang mereka jalankan seperti pembunuhan atau pengrusakan fasilitas umum, namun bagaimana provokasi dari KST Papua juga nyatanya seringkali menyebabkan kerusuhan terjadi bahkan tidak jarang berujung pada anarkisme.

Hal tersebut dikarenakan memang tujuan utama dari kelompok separatis dan teroris itu adalah ingin terus merusak persatuan dan kesatuan bangsa ini. Mereka rela melakukan segala cara supaya stabilitas keamanan negeri bisa terganggu sehingga tercipta teror menakutkan dimana-mana dan tidak jarang provokasi tersebut sangatlah merugikan semua pihak, terutama masyarakat sipil orang asli Papua (OAP) sendiri.

Diketahui bahwa terdapat sebuah aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang berlangsung di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah. Demonstrasi tersebut kemudian berakhir dengan ricuh bahkan hingga tragis karena diwarnai dengan sejumlah aksi anarkisme seperti pembakaran pada salah satu rumah warga.

Tidak hanya itu, namun yang lebih tragis lagi adalah seorang wanita yang merupakan warga sipil harus menjadi korban rudapaksa saat dirinya sedang melintasi lokasi aksi. Tentunya seluruh kekacuan tersebut tidak lain dan tidak bukan berasal dari adanya provokasi dari KST Papua.

Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Nabire, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Wahyudi S. Bintoro mengungkapkan bahwa demo tersebut berlangsung pada beberapa wilayah hingga ada sebanyak enam titik, yang mana salah satunya berada di Kompleks Jayanti, Kelurahan Wonorejo, Nabire.

Pada aksi demonstrasi atau unjuk rasa itu, sejumlah massa melakukan pembakaran ban, kemudian mereka menutup akses jalan atau melakukan pemalangan dengan menggunakan tiang listrik, kayu, batu dan lain sebagainya.

Mengetahui adanya aksi demonstrasi yang terlihat mulai tidak kondusif tersebut, kemudian pihak aparat keamanan langsung bertindak dengan tegas dan terukur yakni dengan membubarkan aksi demo lantaran dianggap sudah mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).

Padahal sebelum melakukan aksi demonstrasi tersebut, sejumlah massa itu telah diingatkan oleh aparat keamanan mengenai izin keramaian dan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP), namun ternyata mereka sama sekali tidak mengantonginya.

Selain tidak mengantongi surat pemberitahuan yang resmi, mereka juga ternyata sama sekali tidak kooperatif selama berkomunikasi dengan aparat keamanan. Sehingga menanggapi bagaimana sikap dari sejumlah massa itu, kemudian aparat keamanan membuat surat balasan dan menegaskan bahwa STTP yang mereka minta ditolak atau dengan kata lain, tidak ada izin resmi untuk mereka.

Sebenarnya aparat keamanan sudah memberikan kesempatan agar para pengunjuk rasa itu membubarkan diri mereka sendiri karena mereka telah melakukan aksi penutupan jalan sehingga jelas sangat meresahkan masyarakat. Namun alih-alih patuh kepada arahan aparat keamanan, mereka justru melanjutkan aksinya dan bahkan sempat melempari polisi dengan menggunakan batu.

Karena adanya aksi anarkisme berupa pelemparan batu tersebut kemudian menjadikan tidak ada alasan lagi bagi aparat keamanan untuk tidak menerapkan tindakan yang tegas dan terukur kepada para pendemo itu.

Namun ternyata saat dibubarkan, massa tersebut menjadi semakin anarkis dengan melakukan pembakaran, penganiayaan hingga menjalankan aksi biadabnya dengan merudapaksa salah seorang warga. Pada waktu itu, korban sedang melewati lokasi kejadian dengan menggunakan motor kemudian diberhentikan, disekap dan pada akhirnya dirudapaksa oleh pelaku aksi karena provokasi KST Papua.

Mereka juga melempari aparat keamanan dan melempari rumah warga sehingga menyebabkan banyak sekali kerusakan. Seluruh kejadian serta aksi sangat biadab itu bahkan sama sekali tidak ragu mereka jalankan di siang hari saat aparat keamanan mencoba untuk melakukan pembubaran pada aksi yang sudah berjalan anarkis sejak awal tersebut.

Jelas sekali bahwa dengan bagaimana berjalannya aksi demonstrasi atau unjuk rasa yang ternyata diwarnai dengan kericuhan atau anarkisme tersebut, terlebih karena hal itu disebabkan oleh provokasi KST Papua, maka seluruhnya menjadi sangat kontra dengan bagaimana aspirasi para peserta aksi yang katanya mereka mengaku menolak kekerasan terhadap masyarakat.

Namun fakta yang terjadi di lapangan adalah, massa tersebut justru melakukan tindak anarkisme dan kekerasan dengan membakar, menganiaya bahkan hingga merudapaksa salah seorang warga sipil yang sama sekali tidak bersalah.

Hal tersebut menjadi sangat miris karena mereka seolah-olah mendengungkan masalah Hak Asasi Manusia (HAM) tetapi justru mereka sendiri malah justru menjadi pihak yang kontraproduktif terhadap aksi dan kegiatan mereka sendiri. Mereka malah melakukan tindakan kriminal dengan aksi kekerasan, rudapaksa dan pembakaran pada rumah marbot masjid.

Tidak ada kata lain yang pantas untuk diucapkan terhadap bagaimana kenyataan atau fakta yang nyatanya terjadi di lapangan tersebut, selain mengecam keras seluruh bentuk anarkisme yang terjadi. Terlebih, ketika hal itu bermuara dari adanya provokasi yang dilakukan oleh KST Papua sehingga memicu demonstrasi di Nabire tersebut berujung aksi anarkis. *) Mahasiswa Papua tinggal di Jakarta